Kamis, 28 Februari 2008

Mengenal Gus Yusuf

Oleh: Ja'far Shodiq

K.H Muhammad Yusuf Chudlori di tengah-tengah masyarakat lebih dikenal dengan sebutan khas kaum pesantren, yakni Gus Yusuf. Sebutan ini didasarkan oleh faktor kesejarahan atau latar belakang beliau yang merupakan salah satu dari sebelas putra dan putri ulama kharismatik Tegalrejo Magelang al-marhum al-magfurlah K.H Chudlori (w.1977), pendiri (muasis) Ponpes Asrama Perguruan Islam Tegalrejo Magelang yang didirikan pada tahun 1944 M. Pada tahun 2008 ini Ponpes tersebut memiliki ± 3.500 santri putra dan ± 2.500 santri putri.

Gus Yusuf yang lahir di Magelang pada 9 Juli 1973 ini sangat terkenal sebagai kiai muda yang dekat dengan berbagai kalangan. Hal ini dikarenakan selain beliau mengasuh pesantren, memberikan hikmah-hikmah keagamaan kepada masyarakat di berbagai majlis ta’lim, juga masih mencurahkan tenaga dan pikirannya untuk perjuangan sosial-kemasyarakatan.

Diantara perjuangan sosial-kemasyarakatan yang digeluti oleh beliau adalah, mengelola komunitas kesenian-kesenian tradisional yang ada di Kab. Magelang, penasehat organisasi Komunitas Gerakan Anti Narkoba dan Zat Adiktif (KOMGANAZ) Kab. Magelang, mengelola radio komunitas (Fast-FM) yang menyiarkan program-program populis untuk memenuhi kebutuhan masyarakat, mulai dari kajian keagamaan, mujahadah, berita-berita aktual, konsultasi kesehatan, bincang bisnis, infotainment, dsb.

Walaupun Gus Yusuf berlatar belakang pendidikan pesantren tapi beliau sangat dekat dengan para aktifis muda dan aktifis mahasiswa yang berlatar belakang pendidikan formal (sekolahan). Kedekatan ini dapat terjalin karena Gus Yusuf adalah kiai yang terbuka (egaliter) untuk berdiskusi dengan kalangan aktifis muda sebagai upaya mengurai kenyataan yang selalu berkembang seiring dengan lajunya zaman.

Aktifitas dengan kalangan muda dan mahasiswa diantaranya dapat dilihat dari seringnya beliau terlibat dalam forum-forum diskusi kaum muda NU Jawa Tengah, bahkan beliau adalah salah satu penggagas dari forum-forum diskusi di kalangan kaum muda NU tersebut. Dalam jumlah yang tidak terhitung, beliau juga sering diminta mengisi seminar, talk show, dan bentuk diskusi lainnya mulai dari tingkat lokal, nasional sampai tingkat internasional, terutama dalam forum-forum diskusi yang mengangkat tema seputar pluralisme, toleransi antar umat beragama, kebudayaan, tasawuf, dan peneguhan nilai-nilai kebangsaan.

Latar Belakang Keilmuan

Dalam bidang keilmuan, pada usia dini sampai usia SD, Gus Yusuf menempa ilmu di pondok pesantren ayahnya. Selanjutnya beliau menempa diri dalam ilmu agama pada beberapa pondok pesantren. Tahun 1985-1994, Gus Yusuf nyantri di Pesantren Lirboyo Kediri Jawa Timur di bawah asuhan KH Idris Marzuki. Selanjutnhya beliau menengguk ilmu di Pesantren Salafiyah Kedung Banteng Purwokerto, terakhir Gus Yusuf memperdalam ilmu keagamaan di Pesantren Salafiyah Bulus, Kebumen.

Karena latar pendidikan pesantren inilah, maka transformasi kelimuan melalui tradisi lisan (tutur) sudah menjadi bagian dari diri suami Vina Rohmatul Ummah (22) ini. Selain menyampaikan ilmunya di Pesantren API Tegalrejo (asuhannya), beliau juga sering berceramah di banyak majlis ta’lim, serta di radio Fast FM kelolaannya yang beralamat di Jl. K.H Hasyim Asy’ary No. 7 Pagotan Tegalrejo Magelang. Jadi, dalam hal berpanjang-panjang kata lewat lisan, kepiawaiannya tak usah diragukan.

Belakangan, Gus Yusuf yang merupakan ayah dari Ahmad Haikal Tanjani Khumaid (6), Yusfina Zahru Tsania (4), dan Aqila Alaya Sya’an (1,5) itu begitu antusias mengembangkan konsep tasawuf yang berdimensi sosial. Hal tersebut paling tidak bisa dilihat dari dakwah-dakwahnya yang disampaikan lewat siaran di radionya. Selain itu, beliau juga sangat gandrung pada persoalan kebudayaan. Kedekatannya dengan kalangan budayawan seperti Gus Mus, Cak Nun, Romo Kirjito, Tanto Mendut, Slamet Gundono, dan banyak lagi yang lain merupakan bukti dari kegandrungannya terhadap dunia kebudayaan.

Kecintaannya dengan dunia kebudayaan tersebut juga menjadi pilihan metode dakwah keagamaan beliau, yakni berdakwah dengan pendekatan ala Sunan Kalijaga. "Orang mungkin menganggap tasawuf itu sesuatu yang elitis dan sukar dipahami. Padahal kalau didedah secara sederhana dan diaplikasikan dalam dimensi kemasyarakatan, pasti akan mudah dipahami. Pola-pola dakwah Sunan Kalijaga tidak sedikit kandungan tasawufnya. Dan itu masih relevan untuk zaman sekarang." Tutur beliau penuh keyakinan.

Berjuang untuk Kepentingan Umat

Siklus zaman yang sedang sampai pada upaya demokratisasi sistem kehidupan di negeri ini, yang ditandai dengan terjadinya gerakan reformasi pada 1998, membangkitkan ghirah Gus Yusuf untuk bersama-sama dengan umat berjuang meningkatkan harkat hidup, merdeka, sejahtera, berdaulat, adil dan makmur. Dalam situasi bangsa yang dilanda krisis demikian akut sejak tahun 1997 ini, maka pilihan politik untuk perjuangan keumatan harus segera dijatuhkan.

Berangkat dari realitas sejarah bahwa selama kurang lebih 32 tahun negeri ini telah dikuasai oleh rezim otoriter, sehingga rakyat kebanyakan dibungkam hak-haknya untuk berekspresi, berpendapat, berkumpul, apalagi mengaktualisasikan ide-idenya dalam gerakan perjuangan. NU sebagai bagian integral dari rakyat Indonesia yang mayoritas hidup di pedesaan dalam tradisi pesantren juga telah dimatikan peran politik keumatan dan kebangsaannya. Maka, momentum reformasi menjadi titik awal kaum ’sarungan’ untuk bangkit kembali dengan didirikannya Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) oleh para ulama kharismatik pada 23 Juli 1998. Jejak para ulama inilah yang telah membangkitkan semangat Gus Yusuf untuk mengabdikan tenaga dan pikirannya dalam perjuangan politiknya melalui Partai Kebangkitan Bangsa.

Politik bagi Gus Yusuf adalah sebagaimana makna politik dalam Islam. Dalam Islam politik disebut dengan istilah Siyasyah (Indonesia: siasat), tapi siasat di sini adalah dalam makna positif. Siasat dijalankan adalah dalam kerangka memenuhi kemaslahatan, bukan kemadlaratan. Ini sesuai dengan kaidah fiqih "tasharruf al-imam 'ala al-ra'iyyah manut bil maslahah" (kebijakan penguasa politik yang diberlakukan untuk warga Negara harus berorientasi pada kemaslahatan atau kesejahteraan umat).

Gus Yusuf menemukan makna perjuangan politik di atas dalam Partai Kebangkitan Bangsa, karena PKB memiliki kriteria tentang kesejahteraan umat (al-maslahah al-'ammah), yaitu: (1) kemaslahatn itu bersifat esensial: kepentingan yang secara praksis-operasional mampu mewujudkan kesejahteraan umum dan mencegah timbulnya kerusakan; (2) maslahah itu ditujukan untuk kepentingan rakyat banyak, bukan semata-mata individu; dan (3) maslahah itu tidak bertentangan dengan ketentuan atau dalil-dalil umum atau nash.

Selain kriteria kesejahteraan umat di atas, yang menjadikan Gus Yusuf ’se-hati’ dengan cita-cita politik PKB adalah kandungan mabda’ siyasy (prinsip-prinsip dasar politik) PKB, yakni menjamin hak-hak dasar rakyat yang harus dipenuhi oleh kebijakan pemerintah. Hak-hak dasar tersebut adalah: (1) kebebasan beragama atau mempertahankan keyakinan (hifz ad-din), sebagaimana dijamin dalam UUD 45; (2) keselamatan jiwa atau fisik dari tindakan di luar ketentuan hukum (hifz an-nafs); (3) keselamatan atau kelangsungan hidup keturunan atau keluarga (hifz an-nasl); (4) keamanan harta benda atau hak milik pribadi (hifz al-mal); dan (5) kebebasan berpendapat dan berekspresi (hifz al-'aql).

Mengembalikan Kedekatan PKB dengan Basis

Prinsip-prinsip perjuangan di ataslah yang menjadikan Gus Yusuf sampai hari ini masih mencurahkan tenaga dan gagasan-gagasannya di partai yang dilahirkan oleh Ormas Islam terbesar (NU) ini. Kiprahnya di dunia politik semata-mata dimaknai sebagai manifestasi diri sebagai insan yang mempunyai tanggung jawab untuk menjaga dan memperjuangkan keharmonisan dan keadilan dalam menata hidup secara kolektif. Beliau tidak pernah sama sekali berkeinginan untuk menjadi anggota legislatif atau bahkan kepala daerah.

"Untuk hidup keluarga saya, alhamdulillah saya masih cukup secara ekonomis. Saya masih punya sawah yang bisa digarap, sedikit-sedikit saya juga sudah mulai berwira usaha. Hal ini saya lakukan agar saya tidak mudah tergiur oleh ’kue-kue’ politik dan pragmatisme sesaat." Tutur Gus Yusuf.

Keteguhan komitmen beliau inilah yang memunculkan kepercayaan dari warga PKB sehingga pada tahun 1999–2007 beliau dipercaya memimpin DPC PKB Kab. Magelang. Setelah berkhidmat di DPC PKB Kab. Magelang selanjutnya Gus Yusuf ditunjuk oleh DPP PKB melalui keputusan rapat pleno DPP PKB pada 1 Mei 2007 untuk menjadi Pjs Ketua Dewan Tanfizd DPW PKB Jawa Tengah mengggantikan posisi Abdul Kadir Karding yang ditarik sebagai pengurus DPP PKB.

Transisi struktural yang terjadi di PKB Jawa Tengah dengan pengangkatan Abdul Kadir Karding sebagai pengurus DPP, menurut Gus Yusuf perlu dibarengi dengan pembenahan kultural. Dalam sebuah kesempatan ketika dihubungi Gus Yusuf menyampaikan “Di tubuh PKB sedang terjadi dua transisi, yakni transisi struklural dan transisi kultural. Transisi struktural lebih pada berjalannya roda organisasi untuk menjaga soliditas pengurus DPW dan DPC PKB se-Jawa Tengah. Sedangkan transisi kultural adalah bagaimana mengupayakan agar PKB lebih dekat dengan basis partai, yakni rakyat, pesantren, dan yang tidak kalah penting adalah kiai”. Selama ini pola hubungan antara yang struktural dengan yang kultural kurang berjalan secara seimbang. Yang sering diutamakan lebih pada hubungan struktural. Maka yang terjadi, kedekatan kultural sebagai pokok perjuangan partai menjadi tersisihkan.

Ketika proses sudah berjalan secara alamiah, dengan pengangkatan dirinya sebagai Pjs ketua DPW PKB Jateng, Gus Yusuf menilai bahwa ini adalah amanat. Ketika ditanya apa visi politiknya untuk membawa PKB Jateng ke depan, Gus Yusuf menjelaskan bahwa PKB tetap harus meneguhkan sebagai partai yang bergerak dijalur kultural, karena basis PKB memang dari akar rumput (grass root). “PKB tetap harus berjalan seiring dengan para kiai, karena memang beliau-beliau itu yang mendirikan PKB untuk kepentingan rakyat dan bangsa ini” tutur Gus Yusuf menegaskan arah perjuangan PKB Jawa Tengah ke depan. [jf]

Visi Politik Santri

K.H Yusuf Khudlori (Gus Yusuf) Pjs. Ketua Umum Dewan Tanfidz DPW PKB Jawa Tengah menyampaikan gagasan politiknya untuk membawa PKB Jateng menjadi partai yang kuat baik dari structur maupun cultur-nya.
PKB Jateng yang akhir-akhir ini mengalami transisi struktural, dengan pengangkatan Abdul Kadir Karding sebagai pengurus DPP, menurut Gus Yusuf perlu dibarengi dengan pembenahan kultural. Dalam sebuah kesempatan ketika dihubungi Gus Yusuf menyampaikan “di tubuh PKB sedang terjadi dua transisi, yakni transisi structural dan transisi kultural. Transisi struktural lebih pada berjalannya roda organisasi untuk menjaga soliditas pengurus DPW dan DPC PKB se-Jawa Tengah. Sedangkan transisi kultural adalah bagaimana mengupayakan agar PKB lebih dekat dengan basis partai, yakni rakyat, pesantren, dan yang tidak kalah penting adalah kiai”. Selama ini pola hubungan antara yang struktural dengan yang kultural kurang berjalan secara seimbang. Yang sering diutamakan lebih pada hubungan struktural. Maka yang terjadi, kedekatan kultural sebagai pokok perjuangan partai menjadi tersisihkan.
Dalam konteks transisi struktural yang seolah-olah menghadap-hadapkan antara Abdul Kadir Karding dengan Gus Yusuf sebagai pesaing untuk menjadi orang nomor satu di PKB Jawa Tengah, Gus Yusuf menyatakan bahwa dirinya tidak pernah merasa ada masalah dengan Abdul Kadir, apalagi berniat mengganti posisinya sebagai ketua DPW. “Ketika diundang oleh Gus Dur saya sudah menyampaikan kepada beliau bahwa saya tidak akan mempersoalkan struktur kepengurusan DPW Jateng di bawah kepemimpinan saudara Kadir Karding”, tandasnya.Ketika proses sudah berjalan secara alamiah, dengan pengangkatan dirinya sebagai pengurus DPW dan disiapkan menjadi Pjs ketua DPW PKB Jateng, Gus Yusuf menganggap bahwa ini adalah amanat. Ketika ditanya apa visi politiknya untuk membawa PKB Jateng ke depan, Gus Yusuf menjelaskan bahwa PKB tetap harus meneguhkan sebagai partai yang bergerak dijalur kultural, karena basis PKB memang dari akar rumput (grass root). “PKB tetap harus berjalan seiring dengan para kiai, karena memang beliau-beliau itu yang mendirikan PKB untuk kepentingan rakyat dan bangsa ini” tuturnya. [jf]

Fiqih Tanya Jawab, dari Mbah Sahal sampai ke Gus Yusuf

Oleh: Kholilul Rohman Ahmad

Ulama kharismatik dengan segundang ilmu keagamaan merupakan modal sosial tak terbatas bagi penulisan buku karena dapat dimanfaatkan sebagai pijakan pengambilan hukum oleh pengikutnya. Fiqih, ilmu cabang dalam Islam yang berkaitan erat dengan tatacara ibadah, selalu mendapatkan tempat teratas dalam kehidupan masyarakat agama Islam.
Sebab fiqih merupakan kebutuhan sehari-hari umat Muslim untuk panduan beribadah shalat, zakat, puasa, dan haji. Belum lagi kaitan dengan tatacara wudlu, hadats, najis, mengelola jenazah, menyucikan pakaian, dan menyucikan hadats dalam tubuh. Hukum halal-haram terhadap persoalan tertentu seperti jual-beli. Intinya, dalam Islam fiqih merupakan ilmu teknis yang banyak dimanfaatkan penganut Muslim.
Buku tanya-jawab persoalan keagamaan selalu berkembang dan mengalami perbaikan (revisi) terhadap buku-buku sebelumnya yang pernah ada. Perkembangan buku tanya-jawab dapat ditelisik dengan tiga pendekatan:
Pertama, buku tanya jawab fiqih akan selalu mengalami perkembangan persoalan yang harus dipecahkan setiap zaman, kecuali pada bahasan-bahasan yang sudah baku. Ketika KH Hasyim Asy’ari (pendiri Nahdlatul Ulama) masih hidup, tidak ada persoalan nuklir yang masuk dalam pembahasan fiqih. Berdasarkan hasil-hasil muktamar NU tahun 1948-1970-an, pembahasan yang masuk dalam forum bahtsul masail muktamar NU sebagian besar berkaitan dengan ibadah mahdhah (pribadi), seperti shalat, wudlu, najis, shalat musafir, menjamak shalat, mengurus jenazah, dll.
Namun kenyataan sosial modern mengharuskan fiqih bersikap terhadap nuklir, seperti kontroversi PLTN di Jepara yang memaksa fiqih bersikap halal, haram, mubah, atau makruh. Alhasil, perkembangan zaman selalu memberi kesempatan kepada penerbit untuk memperkaya buku fiqih tanya-jawab yang bisa dipakai alasan untuk mencetak ulang buku terdahulu dengan versi ‘edisi revisi’.
Kedua, tokoh/kiai pencetus buku tanya-jawab yang dipakai rujukan juga ikut berpengaruh terhadap laku-tidaknya buku tersebut. Meskipun, misalnya, tokoh yang pernah menulis buku fiqih tanya jawab seperti Mbah Sahal (KH Ahmad Muhammad Sahal Mahfudh, Rais ‘Am PBNU), Gus Mus (KH A Mustofa Bisri), atau Gus Yusuf (KH M Yusuf Chudlori) yang cover-nya terpampang disini, substansi persoalan yang dibahas di dalamnya tidak mempunyai perbedaan mendasar kecuali redaksi yang berbeda.
Namun buku-buku ini sama-sama laris karena pembaca mempunyai fanatisme tersendiri terhadap tokoh/ulama. Karena pembeli mempunyai ikatan emosional sendiri-sendiri dengan tokoh yang ada dalam buku. Patut dicatat, rujukan kitab kuning yang dipakai ketiga buku ini juga sama kualitasnya dan sama-sama laku.
Ketiga, buku fiqih tanya-jawab mempunyai segmen pembaca yang sangat luas (untuk kalangan umat Islam). Luasnya segmen pembaca ini berkaitan dengan tempo generasi pembaca Muslim yang cepat berkembang. Setiap generasi membutuhkan sejumlah bacaan fiqih yang praktis yang meniscayakan penerbit selalu mencetak ulang karena pembaca umum tidak mungkin membaca kitab-kitab kuning berbahasa Arab. Terlebih wacana fiqih di dalamnya bersifat baku tidak akan pernah mengalami perubahan.
Misalnya, sepanjang hayat kotoran ayam pasti hukumnya najis, jenazah wajib dimandikan-dikafani-dishalati-dikubur, shalat fardlu lima waktu sehari, sehabis buang air besar/kecil wajib bersuci, dan lain-lain. Hal inilah yang memungkinkan buku fiqh tanya jawab selalu aktual dan selalu diburu orang banyak –sepanjang pemeluk Islam di Indonesia mayoritas.
Demikian halnya dengan buku terjemahan kitab kuning jenis fiqih, tasawuf, aqidah, atau ilmu alat (nahwu, sharaf, mantiq, balaghah) yang beredar di masyarakat, khususnya kalangan pesantren, memiliki daya laku yang kuat. Buku jenis terjemahan kitab kuning sangat laku di kalangan pesantren karena membantu santri untuk memperdalam kitab yang dikaji yang berbahasa Arab.
Buku-buku seperti ini, mungkin, bagi kalangan pengkaji wacana berat (intelektuil) tidak termasuk dalam perhitungan karena termasuk wacana lama. Apalagi redaktur resensi buku, pasti tidak akan melirik resensi buku ini karena wacananya termasuk ketinggalan zaman –maklum, setiap redaktur membutuhkan aktualitas.
Namun demikian bagi penerbit, bukan persoalan wacana usang, kenyataan di pasar buku jenis ini laku keras, alias selalu mengalami cetak ulang minimal setahun sekali, maka tetap berlanjut perbaikan demi perbaikan dan cetak demi cetak. Contoh buku jenis ini terjemahan Nashaihul Ibad, Riyadush Sholihin, Alfiyah Ibnu Malik, dan Kifayatul Akhyar.
Bagaimanapun juga dunia buku tidak selamanya akan berhenti pada jenis buku bertema tertentu. Perpaduan antara buku-buku dengan wacana lama dengan yang baru sama-sama mendapatkan respon pasar yang bagus. Tergantung bagaimana penerbit akan memperlaklukan pasar dengan permainan tema yang akan diluncurkan.
Buku fiqih tanya-jawab ala Mbah Sahal, Gus Mus, dan Gus Yusuf merupakan sebagian jenis buku yang laku keras di pasaran dengan indikasi frekuensi cetak ulang terjadi minimal setahun sekali, dan mayoritas laku terjual di wilayah Jawa Tengah. Fenomena ini mungkin bisa memberi informasi sekaligus inspirasi bagi penerbit di luar Jawa Tengah untuk menerbitkan buku semacam ini, dengan tokoh/ulama setempat. Sebab emosionalitas dan fanatisme kewilayahan terhadap tokoh berpengaruh terhadap laku-tidaknya buku jenis ini.

Kholilul Rohman Ahmad, Pustakawan peminat masalah sosial keagamaan tinggal di Payaman, Magelang, Jawa Tengah
Telpon 0293-5503195, 081328632590

Menggembleng Jasmani dan Rohani

Oleh Muhammad Yusuf Chudlory

Di bulan suci Ramadhan, gerakan keberagamaan umat Islam menggeliat dahsyat. Hal ini tercermin melalui aktivitas umat yang di-cover beragam media, baik cetak maupun elektronik. Ada kesan kuat umat saling berlomba menjadi manusia paling shaleh, sesuai perintah Allah SWT agar berlomba dalam kebaikan (fastabiqul khairat). Komunitas Muslim di berbagai tempat membanjiri masjid, mushala, dan majelis taklim. Alunan suara tadarrus al-Qur’an menggema dari pengeras suara. Orang-orang yang kelebihan harta berlomba menyediakan makanan buka puasa. Mereka terlihat pemurah dengan jalan mudah berderma kepada fakir miskin.
Mengikuti pergerakan keberagamaan tersebut, teve tidak mau ketinggalan. Program acara agama dengan modifikasi dan kompromi budaya pop menjadi trend untuk sementara waktu. Ada ceramah agama dalam setting masjid, taman, dan kafe. Kebanyakan sinetron bertema religius. Ada humor Ramadhan menjelang sahur. Hampir semua teve menyajikan pengajian menjelang maghrib. Di radio beragam program agama bermunculan: kultum (kuliah tujuh menit), kutipan cerita sahabat, kutipan hadits/ayat, sandiwara bertema Ramadhan, dan lagu-lagu rohani diputar berkali-kali. Suasana di atas jarang kita jumpai pada bulan-bulan lain.
Bagi sebagian orang, pergerakan keberagamaan tersebut cukup menggembirakan. Namun jika diperhatikan isi acara-acara keagamaan yang ada, sebagian masih memprihatinkan. Banyak hal membuat miris karena kental nuansa formalistik dan simbolik. Padahal ketika ibadah hanya berhenti secara formalistik dan simbolik sama dengan memiskinkan makna ibadah itu sendiri.
Pada titik ini, ritual keagamaan semacam itu dapat ditangkap sebagai topeng bagi wajah yang sesungguhnya (buruk). Sebab kekhusyuan simbolik hanya menjadi bedak wajah (Jawa: pupur rai) agar terlihat cantik secara agama alias tidak meresap ke dalam relung kalbu. Hal ini sering disebut sebagai upaya mempertuhankan simbol agama. Kenapa kita mudah berlaku percuma dengan mempertuhankan simbol? Karena kita mudah silau dengan kemasan dan selalu ingin cepat mendapat sesuatu tanpa mau bersusahpayah mendalami ilmunya. Lalu, bagaimana cara beribadah di bulan Ramadhan agar menjadi tidak simbolik? Ya latihan bersungguh ibadah.
Ada empat makna puasa sebagai latihan agar ibadah tidak menjadi simbolik. Pertama, latihan memahami kaidah dan hikmah yang terkandung di balik ibadah tersebut. Jalan terbaiknya belajar dari orang-orang yang mengetahui. Ulama salaf mengingatkan: “Barangsiapa yang beramal tetapi tidak mengetahui ilmunya maka amalnya akan tertolak.” Karena itu sebelum beramal kita mesti belajar ilmu agama yang tidak terbatas pada ustadz atau pesantren. Tetapi bisa belajar melalui buku, media massa, dan internet. Dengan demikian ibadah tidak sekedar ritual tetapi menghayati nilai-nilai yang bersemayam di dalamnya.
Kedua, latihan istiqamah (Jawa: ajeg) dalam mengerjakan ibadah. Sebuah pekerjaan yang dilaksanakan dengan istiqamah akan melahirkan kebiasaan, dan selanjutnya menjadi karakter pribadi. Ibadah yang mampu menempa diri mengubahnya menjadi kepribadian yang mulia. Dengan intensif beribadah mengantarkan hati dan jiwa untuk selalu di jalan-Nya. Upaya pembiasaan ibadah selama satu bulan akan mengubah paradigma keberagamaan. Dari beragama secara simbolik menuju beragama penuh nilai dan makna.
Ketiga, latihan meninggalkan hawa nafsu negatif (an-nafs al-lawamah) selama beribadah agar mengantar ke perubahan sikap mental. Keinginan maksiat merupakan godaan yang jarang bisa dihindari di bulan lain. Tetapi di bulan Ramadhan, karena sebagian besar masyarakat menjalankan ibadah puasa, maka kita sebagai bagian dari masyarakat itu, lebih mudah untuk menolak hawa nafsu karena lingkungan mendukung. Mental yang sebelumnya lemah dan mudah tergoda bisa kokoh seperti batu karang.
Keempat, latihan beribadah mandiri (riyadlah). Ramadhan merupakan rempat belajar menghadapi realitas hidup untuk bulan-bulan berikutnya. Ramadhan mengajak kita merasakan derita fakir miskin. Kepekaan sosial kita diuji sehingga sadar bahwa kehidupan tidak selamanya harus selalu sukses. Kita bisa berjaya di puncak kesuksesan, sebaliknya bisa terpuruk di kelas terbawah di mana sangat memerlukan bantuan orang lain. Di sinilah pentingnya kesadaran berbagi kepada sesama.
Dengan empat latihan (penggemblengan) di bulan Ramadhan itu, yang asalnya jelek menjadi baik, yang asalnya hina menjadi mulia. Apabila latihan-latihan seperti itu bisa dilakukan di bulan lain, maka itulah pelajaran yang diharap, agar usai Ramadhan iman tidak putus di tengah jalan. Apabila puasa, tadarrus, dan shalat malam dilakukan di luar Ramadhan, ketika tujuan yang diharapkan juga sama, yaitu sama-sama demi iman dan takwa, maka nilai-nilai Ramadhan bisa kita raih di luar Ramadhan.
Akhirul kalam, puasa bertujuan mencetak umat bertakwa. Amaliah Ramadhan, mulai dari puasa, shalat tarawih, tadarrus al-Qur’an, sadaqah, dan ibadah sunnah lainnya dicipta untuk menggembleng jasmani dan rohani menuju insan kamil (manusia seutuhnya) dan insan muttaqin (manusia bertaqwa).
Semoga ibadah puasa kita diterima Allah SWT sehingga mampu mengubah perilaku dan mental kita dari pesimis menjadi optimis lalu berjiwa kuat seperti Rasulullah SAW. Amin.*

Ritual Kurban dalam Bencana

Oleh Muhammad Yusuf Chudlori

Bagi bangsa Indonesia, kehadiran Hari Raya Idul Adha dan ritual Kurban tahun ini dengan variasi bencana mulai Gempa Jogja sampai Lumpur Lapindo, memiliki makna penting untuk ditangkap dalam perspektif ajaran dan makna agama.

Ritual Kurban merupakan ritual keagamaan yang sarat nuansa simbolik-metaforis yang perlu dimaknai secara kontekstual dalam pijakan nilai-nilai universal Islam. Sementara bencana alam dan sosial yang mendera rakyat merupakan simbol wahyu Allah yang diturunkan kepada bangsa Indonesia agar merenungkan kembali atas perilaku-perilaku negatif yang sering diperbuat.

Al Quran menyeru umat Islam untuk menyelenggarakan ritual Kurban dengan menyembelih binatang unta atau lainnya, seperti sapi, kerbau, dan kambing, untuk dibagikan dagingnya kepada orang-orang miskin. Perintah Allah dalam Surat 22:36-37 yang artinya, "Dan telah Kami jadikan untuk kamu unta-unta itu sebagian dari syi'ar Allah, kamu memperoleh kebaikan yang banyak padanya, maka sebutlah nama Allah ketika kamu menyembelihnya dalam keadaan berdiri. Kemudian apabila telah roboh (mati), maka makanlah sebagiannya dan berilah makan pada orang yang rela dengan apa yang ada padanya dan orang yang meminta. Demikianlah Kami telah menundukkan unta-unta itu kepada kamu, mudah-mudahan kamu bersyukur. Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridlaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya. Demikianlah Allah telah menundukkannya untuk kamu, supaya kamu mengagungkan Allah terhadap hidayah-Nya kepada kamu. Dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang berbuat baik".

Ajaran Monoteisme Ibrahim
Makna Idul Adha, salah satunya terletak pada upaya meneladani ajaran monoteisme Nabi Ibrahim AS yang bersifat transformatif. Dalam perspektif Islam, pengalaman rasional dan spiritual yang dilalui Ibrahim mengantarkan kepada keyakinan tentang tauhid sebagai suatu kebenaran hakiki. Ajaran ini meletakkan Allah sebagai sumber kehidupan, moralitas, bahkan eksistensi itu sendiri.

Tanpa Allah, yang ada hanya kekacau-balauan, kehampaan, bahkan ketiadaan dalam arti sebenarnya. Keyakinan seperti itu berimplikasi langsung pada keharusan Ibrahim untuk menampakkan eksistensi itu dalam kehidupan nyata sehingga manusia dan dunia dapat menyaksikan dan "menikmati" kehadiran Sang Pencipta dalam bentuk kehidupan yang teratur, harmonis, dan seimbang (Abd A'la: 2003). Mungkin karena bangsa ini melupakan Allah dengan berperilaku korup, maka bencana didatangkan oleh Allah secara bertubi. Padahal dengan Idul Adha umat manusia diberi hak untuk melepaskan segala hawa nafsu, ambisi, dan kepentingan sempitnya sehingga dapat "menjumpai" Allah setiap saat.

Ritual Kurban juga melambangkan keharusan manusia untuk membumikan nilai-nilai itu dalam kehidupan nyata. Wahyu Allah kepada Ibrahim untuk mempersembahkan putranya yang lalu diganti binatang kurban memperlihatkan, tidak satu manusia pun boleh melakukan korupsi atau serakah menggunakan uang rakyat, meskipun uang darinya dipergunakan untuk berhaji, bersedekah, dan menyantuni anak yatim. Nilai-nilai yang merepresentasikan kedermawanan dalam ritual Kurban dalam Idul Adha perlu diaktualisasikan ke dalam realitas kehidupan dengan cara mendermakan uang yang benar-benar hasil jerih payah.

Seharusnya pengertian ini kita tangkap setiap waktu sebab setiap tahun umat Islam merayakan Hari Raya Idul Adha. Hari raya tersebut merupakan peringatan atas pengalaman rohani Ibrahim, nenek moyang agama monoteis dan Semitik, yaitu Yahudi, Nasrani, dan Islam. Dalam bentuknya yang lebih lengkap, peringatan pengalaman rohani tersebut dilaksanakan di Tanah Suci berupa ibadah haji bersama-sama oleh segenap umat Islam dari segala penjuru dunia.

Bila kita telusuri perintah berkurban dan berhaji dari latar belakang turunnya perintah tersebut hingga tata cara pelaksanaannya, akan kita temukan beberapa simbolisasi yang begitu indah dan agung tentang dimensi kemanusiaan atau ukhuwah insaniyah.

Ibrahim, melalui mimpi yang haq, menerima perintah Allah untuk menyembelih anaknya, Nabi Ismail as. Singkat cerita, setelah mendiskusikan mimpinya kepada putra tercintanya, Ismail, dan istrinya, Siti Hajar, Ibrahim berhasil membunuh "berhala" rasa cinta kepada anaknya, bahkan malah memperoleh ridha Allah, yang menganugerahinya seekor kambing sebagai hewan kurban sehingga Ismail selamat.

Pengurbanan Ibrahim dan Ismail dalam menjalankan perintah Allah tersebut memiliki makna luar biasa dalam kehidupan manusia. Betapa tidak? Kesediaan berkurban yang dilakukan Ibrahim sejatinya bermuara pada bentuk atau perwujudan kepedulian sosial (Nurcholish Madjid: 2004).

Apalagi, sebagaimana kita ketahui, dari peristiwa yang dialami Ibrahim tersebut muncul perintah Allah kepada umat Islam untuk menyembelih hewan kurban. Pengurbanan dengan memotong hewan ternak adalah perwujudan kepedulian sosial. Mengapa hewan ternak? Sebab, pada zaman Ibrahim, kepemilikan terhadap hewan ternak merupakan pertanda atau lambang kekayaan tertinggi dari seseorang.


Tidak Melakukan Korupsi
Lalu, ketika bangsa kita penuh bencana akhir-akhir ini, bagaimana kita mampu mengaktualisasikan nilai-nilai semangat kurban tersebut dalam kehidupan sehari-hari sehingga bermakna luas bagi perbaikan kondisi bangsa Indonesia yang terus-menerus dilanda bencana?

Di sini terdapat kesinambungan pelajaran yang diwariskan Ibrahim kepada masyarakat zaman sekarang. Bahwa kesediaan manusia untuk berkurban mestinya jauh melampaui daripada sekadar menyembelih kambing atau hewan ternak lainnya. Adalah dengan berkurban tidak melakukan korupsi demi teratasi bencana bangsa secara nasional.

Tidak hanya itu. Semangat berkurban –dengan tidak hanya menyembelih hewan ternak- sangat relevan dengan kondisi bangsa Indonesia sekarang yang sedang diuji Allah dengan banyak malapetaka. Bencana dari Gempa Jogja sampai Lumpur Lapindo merupakan bencana “kecil”.

Masih banyak bencana besar berupa problem sosial warga Indonesia yang hidup di bawah garis kemiskinan, anak-anak putus sekolah, minyak mahal tak terjangkau rakyat, beras langka sehingga (di)mahal(kan) atau kualitas kesehatan masyarakat yang menurun karena ketidakmampuan mereka mengakomodasi biaya pengobatan yang melonjak dari hari ke hari, memerlukan kurban berupa solideritas seluruh elemen bangsa untuk mengatasinya dengan cara tidak melakukan korupsi.

Akhirulkalam, sesungguhnya kemunculan bencana merupakan sebab yang lahir akibat tindakan bangsa Indonesia sendiri yang Buta mata dan tipis telinga karena dikuasai hawa nafsu kebinatangan yang ada dalam dirinya. Dalam konteks kebangsaan, semangat berkorban untuk menyembelih nafsu kebinatangan dalam diri kita masing-masing menjadi sesuatu yang amat penting guna menjaga dan menjauhkan bangsa Indonesia dari bencana alam maupun bencana sosial. Wallahu a’lam bish-shawab.

Muhammad Yusuf Chuldori adalah pengasuh Asrama Perguruan Islam (API) Pondok Pesantren Salafi Tegalrejo, Magelang, Jawa Tengah dan Ketua DPW PKB Jawa Tengah


help