Oleh Muhammad Yusuf Chudlory
Di bulan suci Ramadhan, gerakan keberagamaan umat Islam menggeliat dahsyat. Hal ini tercermin melalui aktivitas umat yang di-cover beragam media, baik cetak maupun elektronik. Ada kesan kuat umat saling berlomba menjadi manusia paling shaleh, sesuai perintah Allah SWT agar berlomba dalam kebaikan (fastabiqul khairat). Komunitas Muslim di berbagai tempat membanjiri masjid, mushala, dan majelis taklim. Alunan suara tadarrus al-Qur’an menggema dari pengeras suara. Orang-orang yang kelebihan harta berlomba menyediakan makanan buka puasa. Mereka terlihat pemurah dengan jalan mudah berderma kepada fakir miskin.
Mengikuti pergerakan keberagamaan tersebut, teve tidak mau ketinggalan. Program acara agama dengan modifikasi dan kompromi budaya pop menjadi trend untuk sementara waktu. Ada ceramah agama dalam setting masjid, taman, dan kafe. Kebanyakan sinetron bertema religius. Ada humor Ramadhan menjelang sahur. Hampir semua teve menyajikan pengajian menjelang maghrib. Di radio beragam program agama bermunculan: kultum (kuliah tujuh menit), kutipan cerita sahabat, kutipan hadits/ayat, sandiwara bertema Ramadhan, dan lagu-lagu rohani diputar berkali-kali. Suasana di atas jarang kita jumpai pada bulan-bulan lain.
Bagi sebagian orang, pergerakan keberagamaan tersebut cukup menggembirakan. Namun jika diperhatikan isi acara-acara keagamaan yang ada, sebagian masih memprihatinkan. Banyak hal membuat miris karena kental nuansa formalistik dan simbolik. Padahal ketika ibadah hanya berhenti secara formalistik dan simbolik sama dengan memiskinkan makna ibadah itu sendiri.
Pada titik ini, ritual keagamaan semacam itu dapat ditangkap sebagai topeng bagi wajah yang sesungguhnya (buruk). Sebab kekhusyuan simbolik hanya menjadi bedak wajah (Jawa: pupur rai) agar terlihat cantik secara agama alias tidak meresap ke dalam relung kalbu. Hal ini sering disebut sebagai upaya mempertuhankan simbol agama. Kenapa kita mudah berlaku percuma dengan mempertuhankan simbol? Karena kita mudah silau dengan kemasan dan selalu ingin cepat mendapat sesuatu tanpa mau bersusahpayah mendalami ilmunya. Lalu, bagaimana cara beribadah di bulan Ramadhan agar menjadi tidak simbolik? Ya latihan bersungguh ibadah.
Ada empat makna puasa sebagai latihan agar ibadah tidak menjadi simbolik. Pertama, latihan memahami kaidah dan hikmah yang terkandung di balik ibadah tersebut. Jalan terbaiknya belajar dari orang-orang yang mengetahui. Ulama salaf mengingatkan: “Barangsiapa yang beramal tetapi tidak mengetahui ilmunya maka amalnya akan tertolak.” Karena itu sebelum beramal kita mesti belajar ilmu agama yang tidak terbatas pada ustadz atau pesantren. Tetapi bisa belajar melalui buku, media massa, dan internet. Dengan demikian ibadah tidak sekedar ritual tetapi menghayati nilai-nilai yang bersemayam di dalamnya.
Kedua, latihan istiqamah (Jawa: ajeg) dalam mengerjakan ibadah. Sebuah pekerjaan yang dilaksanakan dengan istiqamah akan melahirkan kebiasaan, dan selanjutnya menjadi karakter pribadi. Ibadah yang mampu menempa diri mengubahnya menjadi kepribadian yang mulia. Dengan intensif beribadah mengantarkan hati dan jiwa untuk selalu di jalan-Nya. Upaya pembiasaan ibadah selama satu bulan akan mengubah paradigma keberagamaan. Dari beragama secara simbolik menuju beragama penuh nilai dan makna.
Ketiga, latihan meninggalkan hawa nafsu negatif (an-nafs al-lawamah) selama beribadah agar mengantar ke perubahan sikap mental. Keinginan maksiat merupakan godaan yang jarang bisa dihindari di bulan lain. Tetapi di bulan Ramadhan, karena sebagian besar masyarakat menjalankan ibadah puasa, maka kita sebagai bagian dari masyarakat itu, lebih mudah untuk menolak hawa nafsu karena lingkungan mendukung. Mental yang sebelumnya lemah dan mudah tergoda bisa kokoh seperti batu karang.
Keempat, latihan beribadah mandiri (riyadlah). Ramadhan merupakan rempat belajar menghadapi realitas hidup untuk bulan-bulan berikutnya. Ramadhan mengajak kita merasakan derita fakir miskin. Kepekaan sosial kita diuji sehingga sadar bahwa kehidupan tidak selamanya harus selalu sukses. Kita bisa berjaya di puncak kesuksesan, sebaliknya bisa terpuruk di kelas terbawah di mana sangat memerlukan bantuan orang lain. Di sinilah pentingnya kesadaran berbagi kepada sesama.
Dengan empat latihan (penggemblengan) di bulan Ramadhan itu, yang asalnya jelek menjadi baik, yang asalnya hina menjadi mulia. Apabila latihan-latihan seperti itu bisa dilakukan di bulan lain, maka itulah pelajaran yang diharap, agar usai Ramadhan iman tidak putus di tengah jalan. Apabila puasa, tadarrus, dan shalat malam dilakukan di luar Ramadhan, ketika tujuan yang diharapkan juga sama, yaitu sama-sama demi iman dan takwa, maka nilai-nilai Ramadhan bisa kita raih di luar Ramadhan.
Akhirul kalam, puasa bertujuan mencetak umat bertakwa. Amaliah Ramadhan, mulai dari puasa, shalat tarawih, tadarrus al-Qur’an, sadaqah, dan ibadah sunnah lainnya dicipta untuk menggembleng jasmani dan rohani menuju insan kamil (manusia seutuhnya) dan insan muttaqin (manusia bertaqwa).
Semoga ibadah puasa kita diterima Allah SWT sehingga mampu mengubah perilaku dan mental kita dari pesimis menjadi optimis lalu berjiwa kuat seperti Rasulullah SAW. Amin.*
Kamis, 28 Februari 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar