Kamis, 28 Februari 2008

Ritual Kurban dalam Bencana

Oleh Muhammad Yusuf Chudlori

Bagi bangsa Indonesia, kehadiran Hari Raya Idul Adha dan ritual Kurban tahun ini dengan variasi bencana mulai Gempa Jogja sampai Lumpur Lapindo, memiliki makna penting untuk ditangkap dalam perspektif ajaran dan makna agama.

Ritual Kurban merupakan ritual keagamaan yang sarat nuansa simbolik-metaforis yang perlu dimaknai secara kontekstual dalam pijakan nilai-nilai universal Islam. Sementara bencana alam dan sosial yang mendera rakyat merupakan simbol wahyu Allah yang diturunkan kepada bangsa Indonesia agar merenungkan kembali atas perilaku-perilaku negatif yang sering diperbuat.

Al Quran menyeru umat Islam untuk menyelenggarakan ritual Kurban dengan menyembelih binatang unta atau lainnya, seperti sapi, kerbau, dan kambing, untuk dibagikan dagingnya kepada orang-orang miskin. Perintah Allah dalam Surat 22:36-37 yang artinya, "Dan telah Kami jadikan untuk kamu unta-unta itu sebagian dari syi'ar Allah, kamu memperoleh kebaikan yang banyak padanya, maka sebutlah nama Allah ketika kamu menyembelihnya dalam keadaan berdiri. Kemudian apabila telah roboh (mati), maka makanlah sebagiannya dan berilah makan pada orang yang rela dengan apa yang ada padanya dan orang yang meminta. Demikianlah Kami telah menundukkan unta-unta itu kepada kamu, mudah-mudahan kamu bersyukur. Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridlaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya. Demikianlah Allah telah menundukkannya untuk kamu, supaya kamu mengagungkan Allah terhadap hidayah-Nya kepada kamu. Dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang berbuat baik".

Ajaran Monoteisme Ibrahim
Makna Idul Adha, salah satunya terletak pada upaya meneladani ajaran monoteisme Nabi Ibrahim AS yang bersifat transformatif. Dalam perspektif Islam, pengalaman rasional dan spiritual yang dilalui Ibrahim mengantarkan kepada keyakinan tentang tauhid sebagai suatu kebenaran hakiki. Ajaran ini meletakkan Allah sebagai sumber kehidupan, moralitas, bahkan eksistensi itu sendiri.

Tanpa Allah, yang ada hanya kekacau-balauan, kehampaan, bahkan ketiadaan dalam arti sebenarnya. Keyakinan seperti itu berimplikasi langsung pada keharusan Ibrahim untuk menampakkan eksistensi itu dalam kehidupan nyata sehingga manusia dan dunia dapat menyaksikan dan "menikmati" kehadiran Sang Pencipta dalam bentuk kehidupan yang teratur, harmonis, dan seimbang (Abd A'la: 2003). Mungkin karena bangsa ini melupakan Allah dengan berperilaku korup, maka bencana didatangkan oleh Allah secara bertubi. Padahal dengan Idul Adha umat manusia diberi hak untuk melepaskan segala hawa nafsu, ambisi, dan kepentingan sempitnya sehingga dapat "menjumpai" Allah setiap saat.

Ritual Kurban juga melambangkan keharusan manusia untuk membumikan nilai-nilai itu dalam kehidupan nyata. Wahyu Allah kepada Ibrahim untuk mempersembahkan putranya yang lalu diganti binatang kurban memperlihatkan, tidak satu manusia pun boleh melakukan korupsi atau serakah menggunakan uang rakyat, meskipun uang darinya dipergunakan untuk berhaji, bersedekah, dan menyantuni anak yatim. Nilai-nilai yang merepresentasikan kedermawanan dalam ritual Kurban dalam Idul Adha perlu diaktualisasikan ke dalam realitas kehidupan dengan cara mendermakan uang yang benar-benar hasil jerih payah.

Seharusnya pengertian ini kita tangkap setiap waktu sebab setiap tahun umat Islam merayakan Hari Raya Idul Adha. Hari raya tersebut merupakan peringatan atas pengalaman rohani Ibrahim, nenek moyang agama monoteis dan Semitik, yaitu Yahudi, Nasrani, dan Islam. Dalam bentuknya yang lebih lengkap, peringatan pengalaman rohani tersebut dilaksanakan di Tanah Suci berupa ibadah haji bersama-sama oleh segenap umat Islam dari segala penjuru dunia.

Bila kita telusuri perintah berkurban dan berhaji dari latar belakang turunnya perintah tersebut hingga tata cara pelaksanaannya, akan kita temukan beberapa simbolisasi yang begitu indah dan agung tentang dimensi kemanusiaan atau ukhuwah insaniyah.

Ibrahim, melalui mimpi yang haq, menerima perintah Allah untuk menyembelih anaknya, Nabi Ismail as. Singkat cerita, setelah mendiskusikan mimpinya kepada putra tercintanya, Ismail, dan istrinya, Siti Hajar, Ibrahim berhasil membunuh "berhala" rasa cinta kepada anaknya, bahkan malah memperoleh ridha Allah, yang menganugerahinya seekor kambing sebagai hewan kurban sehingga Ismail selamat.

Pengurbanan Ibrahim dan Ismail dalam menjalankan perintah Allah tersebut memiliki makna luar biasa dalam kehidupan manusia. Betapa tidak? Kesediaan berkurban yang dilakukan Ibrahim sejatinya bermuara pada bentuk atau perwujudan kepedulian sosial (Nurcholish Madjid: 2004).

Apalagi, sebagaimana kita ketahui, dari peristiwa yang dialami Ibrahim tersebut muncul perintah Allah kepada umat Islam untuk menyembelih hewan kurban. Pengurbanan dengan memotong hewan ternak adalah perwujudan kepedulian sosial. Mengapa hewan ternak? Sebab, pada zaman Ibrahim, kepemilikan terhadap hewan ternak merupakan pertanda atau lambang kekayaan tertinggi dari seseorang.


Tidak Melakukan Korupsi
Lalu, ketika bangsa kita penuh bencana akhir-akhir ini, bagaimana kita mampu mengaktualisasikan nilai-nilai semangat kurban tersebut dalam kehidupan sehari-hari sehingga bermakna luas bagi perbaikan kondisi bangsa Indonesia yang terus-menerus dilanda bencana?

Di sini terdapat kesinambungan pelajaran yang diwariskan Ibrahim kepada masyarakat zaman sekarang. Bahwa kesediaan manusia untuk berkurban mestinya jauh melampaui daripada sekadar menyembelih kambing atau hewan ternak lainnya. Adalah dengan berkurban tidak melakukan korupsi demi teratasi bencana bangsa secara nasional.

Tidak hanya itu. Semangat berkurban –dengan tidak hanya menyembelih hewan ternak- sangat relevan dengan kondisi bangsa Indonesia sekarang yang sedang diuji Allah dengan banyak malapetaka. Bencana dari Gempa Jogja sampai Lumpur Lapindo merupakan bencana “kecil”.

Masih banyak bencana besar berupa problem sosial warga Indonesia yang hidup di bawah garis kemiskinan, anak-anak putus sekolah, minyak mahal tak terjangkau rakyat, beras langka sehingga (di)mahal(kan) atau kualitas kesehatan masyarakat yang menurun karena ketidakmampuan mereka mengakomodasi biaya pengobatan yang melonjak dari hari ke hari, memerlukan kurban berupa solideritas seluruh elemen bangsa untuk mengatasinya dengan cara tidak melakukan korupsi.

Akhirulkalam, sesungguhnya kemunculan bencana merupakan sebab yang lahir akibat tindakan bangsa Indonesia sendiri yang Buta mata dan tipis telinga karena dikuasai hawa nafsu kebinatangan yang ada dalam dirinya. Dalam konteks kebangsaan, semangat berkorban untuk menyembelih nafsu kebinatangan dalam diri kita masing-masing menjadi sesuatu yang amat penting guna menjaga dan menjauhkan bangsa Indonesia dari bencana alam maupun bencana sosial. Wallahu a’lam bish-shawab.

Muhammad Yusuf Chuldori adalah pengasuh Asrama Perguruan Islam (API) Pondok Pesantren Salafi Tegalrejo, Magelang, Jawa Tengah dan Ketua DPW PKB Jawa Tengah


help

6 komentar:

hanafi mengatakan...

Assalamu'alaikum
Wah Gus Yusuf kagungan blog tho... nepangaken gus kulo lare karet santrine gus anam
[madosi guest book boten wonten]
nderek ngelink nggih...
www.mashanafi.wordpress.com
wassalam...

EVO mengatakan...

Assalamualaikum gus, " menurut saya, kurban itu lebih pas kaitannya, dengan iman dan tauhid. perjuangan bagaimana ibrahim meninggalkan istri dan anaknya di padang pasir yang tandus, sehingga ibrahim yakin bahwa yang menjaga dan memberikan rezeki kpd anak dan istrinya adalah ALLAH swt. sehaingga siti hajar pun yakin bahwa yg memberikan rezeki kpd dia dan anaknya adalah ALLAH swt. Bukan dihubungkan dgn korupsi apalagi politik.

sipon_alnganju'i mengatakan...

Assalamualaikum gus,,,Alhamdulillah nembe ngertos blog panjenengan,,,nyuwun sewu tanpa mengurangi rasa hormat,,,tepangaken kulo sipon aslinipun arifin,kmr D 17,tamatan 2005,mukim 2006,prnah hidmah dateng pak H Chanif,,,sak meniko menempuh program kualifikasi S1 guru madin dateng STAIM kertosono,pendonganipun...menaggapi ritual kurban dalam bencana, sesuai apa yg sy pelajari teori penulisan artikel yg di hubugkan dgn kondisi real terkini,sgt tepat tdk hanya tertumpu pd pokok kajian (iman dan tauhid)sebab pd dasarnya sebuah karya tulis akan jauh lebih menarik dan tdk membosankan,tanpa mengurangi tujuan kritik sosial tentunya,,,matur suwun,,,kulo tenggo artikel ttg filsafat

S@ntry Pinggiran mengatakan...

assalamualaikum
salam kenal buat gus yusuf, maaf kenapa blognya kok belum bagus ya, dan untuk pesantren api kog belum punya web/ blog
wassalam
dari msunawar@gmail.com

Anonim mengatakan...

Assalaamu'alaykum,,

Salam ta'ruf Gus. Perkenalkan sy Miftah, asli Magelang. Selama 18 thn sy mengenyam pendidikan umum (negeri) dan merasa mendapat pendidikan bahwa Islam itu hanya sebatas shalat dan tahlilan. Dan ketika itu pandangan saya terhadap pesantren (dingapunten) agak negatif. Sy berpikiran bahwa pesantren itu kolot, jorok, dan madsyu (masa depan syuram)walaupun sebenarnya ada keinginan dalam hati kecil saya untuk mempelajari Islam tetapi karena hal2 negatif tsb niat baik tsb urung sy lakukan.
Dan alhamdulillaah Allah menakdirkan sy bisa mengenyam kuliah di salah satu PTN di Bandung. Di sinilah sy mulai mengenal Islam yg menurut sy sebenarnya. Sy diajarkan bagaimana optimis terhadap masa depan seperti ketika Rasulullah yg bercita-cita bisa menaklukkan kerajaan Romawi dan Persia padahal kondisi saat itu sangat sulit karena sedang menjalani Perang Khandaq, diajarkan hidup bersih yg ternyata Islam sangat menekankan hal itu, dan begitu juga menjaga kesehatan yang subhanallah Rasulullah juga mencontohkannya. Alhamdulillah juga Allah menakdirkan sy bisa masuk ke Pesantren Mahasiswa Miftahul Khoir yg rata2 ustadz2nya dari Pesantren Salafy Manonjaya dan yg memberi naman pesantren juga alm. K.H. Choer Affandi. Dari sinilah wawasan keislaman saya semakin bertambah. Sy mulai memperhatikan amalan2 sunnah mengenai do'a2 sebelum melakukan aktivitas harian. sy juga mendapatkan ilmu ttg bagaimana berkontribusi terhadap ummat lewat berbagai macam kegiatan yg dibutuhkan oleh ummat yg sy lakukan bersama dg teman2 mahasantri.
Ingin skali sy silaturrahim dg Gus Muh di Pesantren Tegalrejo (dulu Bapak sy juga nyantri di pesantren tegalrejo). Mudah2an Allah mempertemukan kita.
Oiya Gus, kalau di pesantren tegalrejo kira2 ada tidak program yang mempersiapkan santri untuk bisa terjun langsung di tengah2 ummat untuk berdakwah? dan tentu saja berprestasi. karena selama ini, santri itu identik dg masa depan syuram.

Unknown mengatakan...

Ass.Wr Wb, Yth. KH.Gus Yusuf, perkenalkan nama saya Poniman dari lampung, anak saya Hendro Priyono sdh setahun mondok di API Salaf, sebelum pengajian akbar ruwah kemarin di kamar A-11 karna kenalnya sama sdr.2 dari Kebumen, sekarang pindah kamar bergabung dgn santri2 dari lampung, tmksh. Wass. Wr Wb